Tembakau sudah menjadi komoditi primadona selama beratus tahun diusahakan di Indonesia. Sebagai tanaman komersial yang bersifat “fancy product”, tembakau mempunyai nilai ekonomi tinggi, unik, sekaligus mengandung resiko yang besar bagi petani maupun perusahaan. Mulai dari penanaman, prosesing sampai dengan pemasaran hasil dikenal padat karya, padat modal dan padat resiko.
Isu global pertembakauan dunia memberikan perbedaan kepentingan (interest differentiation) antara pelaku bisnis pertembakauan, pemerintah (pendapatan negara & ketersediaan lapangan kerja) dengan institusi kesehatan dunia. Perlindungan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan dari bisnis tembakau mengakibatkan adanya perang untuk mempertahankan bisnis tembakau atau mematikannya (dying business).
Tidak bisa dipungkiri, pengusahaan tembakau di Indonesia memberikan kontribusi yang besar pada petani, pengusaha dalam dan luar negeri maupun pemerintah. Indonesia menempati peringkat ke-7 sebagai negara produsen tembakau dengan kapasitas produksi rata-rata 165 ribu ton pertahun dalam satu dasawarsa terakhir. Dapat dibayangkan berapa banyak lapangan kerja tercipta dari usaha ini. Serapan tenaga kerja dalam industri pertembakauan cukup tinggi. Tidak kurang dari 18 juta orang terserap dalam pengusahaan tembakau baik on farm maupun off farm. Pemerintah memperoleh penerimaan negara dari cukai tembakau dan devisa ekspor tembakau dan rokok berkisar pada 10 – 15 % dari total pendapatan nasional (Apindo, 2013).
Dari sudut pandang kesehatan, tembakau dianggap sebagai komoditas yang memberikan dampak negatif dari asap tembakau terhadap kesehatan manusia. Dalam asap tembakau teridentifikasi 4000 komponen kimiawi yang dianggap membahayakan kesehatan. Sementara penelitian terhadap kandungan kimiawi yang menguntungkan belum seintensif dari sudut pandang kesehatan. Beberapa negara dan anggota masyarakat dunia mendesak badan organisasi kesehatan dunia (WHO) untuk melegalkan “perang” terhadap tembakau (rokok) dalam bentuk Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada Bulan Mei 2003.
Pengesahan RPP Tembakau menjadi PP No 109 Tahun 2012 oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 24 Desember 2012 menimbulkan gelombang penolakan yang tinggi terutama dari masyarakat petani dan pelaku industri tembakau. Peraturan pemerintah yang terdiri dari 8 bab dan 65 pasal ini berisi tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa tembakau bagi kesehatan. Pengendalian produk tembakau melalui standarisasi produk tembakau dan pengetatan tataniaga rokok dikhawatirkan akan menjatuhkan minat petani dan perusahaan dalam menanam tembakau. Pembatasan kandungan nikotin dan tar dalam rokok berpeluang akan mematikan sejarah tembakau aromatis yang bernilai jual tinggi seperti tembakau Temanggung dan Madura. Sementara kran impor tembakau justru dibuka lebar untuk memenuhi kebutuhan bahan rokok dengan standar seperti yang ditetapkan dalam PP Tembakau.
PELUANG DAN STRATEGI EKSISTENSI TEMBAKAU
PT. Perkebunan Nusantara X (Persero) merupakan salahsatu BUMN yang mengusahakan komoditas tembakau. Strategi Business Unit (SBU) Tembakau menaungi 3 (tiga) unit kebun yaitu Kebun Kertosari dan Kebun Ajong Gayasan di Jember serta Kebun Klaten. Penanaman tembakau cerutu Besuki di Jember sudah dimulai sejak 1856. Selain PTPN X (Persero), tembakau cerutu Besuki yang juga diusahakan oleh para eksportir swasta dan petani turut merasakan dampak dari regulasi FCTC maupun PP Tembakau.
Peralihan selera konsumen dari cerutu besar (big ciggar) ke cerutu kecil (cigarilos) serta penggabungan beberapa pabrikan besar secara tidak langsung mempengaruhi permintaan pasar. Permasalahan dalam proses produksi meliputi kenaikan biaya produksi, kesulitan dalam perolehan lahan dan tenaga kerja, serangan hama penyakit, serta pembatasan residu pestisida.
Secara umum, peluang pengusahaan tembakau masih terbuka lebar. Jumlah perokok aktif di Indonesia saat ini berkisar 57 juta orang tentu membutuhkan bahan rokok yang sangat besar. Selain itu, volume impor tembakau yang terus meningkat juga mengindikasikan peluang itu. Menurut Rahmat Sholeh (2013), impor tembakau tahun 2003 tercatat 23 ribu ton dan 2012 melonjak 100 ribu ton.
Diperlukan komitmen yang kuat dari semua kalangan yang terlibat dalam mata rantai industri pertembakauan untuk meningkatkan eksistensi tembakau di pasar global. Beberapa strategi dapat dilakukan secara sinergi untuk mencapai sasaran tersebut.
Penguatan Kelembagaan
Industri pertembakauan merupakan mata rantai yang melibatkan banyak pihak. Kerjasama antara Lembaga Tembakau, Komisi Urusan Tembakau Jember, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian baik dari PTPN X (Persero) maupun perusahaan swasta lainnya, serta Asosiasi Petani secara bersama-sama membentuk pusat kajian sebagai lembaga rujukan dan braintrust centre bagi pelaku usaha tembakau.
Menjalin Sinergi dengan Pemerintah dan Masyarakat setempat
Kesulitan perolehan lahan yang masuk dalam kategori “ring kualitas” dapat diantisipasi dengan menjalin kerjasama yang sinergi antara perusahaan dengan pemerintah, DPRD dan masyarakat setempat. Pola pembinaan wilayah sebagai bagian dari program SRTP dapat diaplikasikan dengan menggandeng lembaga terkait seperti PKBL, LSM dan lain-lain.
Aplikasi Rakitan Teknologi
Kebutuhan tenaga kerja dalam proses produksi tembakau sangat besar. Pada saat ini, ketersediaan tenaga kerja produktif yang mau terlibat dalam proses ini semakin sedikit sehingga diperlukan penggunaan teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penelitian internal perusahaan, perguruan tinggi seperti Universitas Negeri Jember, UGM, Poltek Negeri Jember maupun dari pihak lain. Dengan penerapan teknologi, diharapkan ada peningkatan efisiensi dan penurunan HPP Tembakau.
Rekayasa Genetika
Persyaratan standar mutu tembakau dari pembeli maupun pabrikan semakin lama semakin ketat seiring meningkatnya pembatasan produk tembakau. Tuntutan pasar ini tentu semakin memberatkan bagi produsen tembakau. Diperlukan terobosan besar agar dapat menjaga eksistensi tembakau dengan rekayasa genetika. Adanya persyaratan benih tembakau bebas GMO (Genetic Modified Organism) bukanlah faktor penghambat dalam pengembangan rekayasa genetika. Menurut Tso (1990) sifat fisik dan kimiawi tembakau diantaranya dipengaruhi oleh faktor genetik, aktifitas pertanian, jenis tanah dan nutrien, cuaca, penyakit tanaman, prosedur pemanenan dan pengeringan. Leffingwell (2001) mensinyalir dengan pengetahuan kimia dan genetika yang mendalam dapat mengeksplorasi kandungan dalam tembakau sehingga usaha mengurangi bahaya tembakau dapat dimulai dari proses awal produksi.
Beberapa alternatif yang dapat dilakukan diantaranya :
– Modifikasi fase vegetatif dan generatif tanaman
Dilakukan dengan memanipulasi fase pembungaan sehingga tanaman berbunga lebih lambat. Penghambatan waktu berbunga akan meningkatkan potensi jumlah dan ukur daun tembakau yang pada akhirnya meningkatkan potensi produksinya.
– Modifikasi Waktu Tanam
Dengan menggunakan metode tanam dalam ruangan (rumah kaca), faktor penghambat seperti drainase, pengairan, serangan organisme pengganggu dapat dimanage dengan baik. Dengan mengendalikan faktor-faktor tersebut diharapkan ada peningkatan yang signifikan pada kualitas tembakau. Selain itu dapat dilakukan beberapa kali masa tanam dalam setahun sehingga diharapkan ada efisiensi biaya dan kontinuitas produk tembakau.
Diversifikasi Produk Tembakau
Tanaman tembakau merupakan tanaman yang sangat mudah direkayasa genetika dan memiliki kandungan kimiawi yang sudah banyak diteliti oleh ilmuwan. Diversifikasi produk tembakau merupakan salahsatu strategi alternatif mengurangi potensi kimiawi yang merugikan. Diversifikasi dapat dibedakan menjadi :
1. Produk rokok/cerutu yang lebih sehat
Dilakukan dengan mengurangi kadar kandungan kimia berbahaya seperti nitrosamine, benzoapirin, dan nikotin.
2. Alternatif cara mengkonsumsi rokok/cerutu
Dengan mengubah metode menikmati nikotin dalam bentuk produk lain seperti permen, cairan ataupun inhaler (Siswoyo, 2008)
3. Produk alternatif selain rokok/cerutu
Pemanfaatan produk tembakau untuk bahan biopestisida, kosmetika, obat-obatan, pupuk dan lain-lainnya masih memerlukan kajian mendalam untuk dapat diaplikasikan secara massal.
Penguatan Pasar
Pemasaran merupakan ujung tombak terakhir dari proses budidaya tembakau. Pemenuhan pesanan yang berprinsip pada asas saling percaya merupakan modal utama dalam kelanggengan sebuah perusahaan. Penetrasi pasar baru dapat dilakukan dengan membentuk market intelijen sebagai upaya peningkatan eksistensi tembakau di era global.
Semua langkah strategi di atas hanya akan dapat terwujud jika ada komitmen yang kuat, kerjasama yang sinergi dan niat yang ikhlas untuk menjaga sejarah pertembakauan di Indonesia khususnya di PT. Perkebunan Nusantara X (Persero). Setiap ada kemauan, pasti ada jalan terbentang. Setiap ada peluang mari kita rebut sekuat tenaga. Tembakau, tetaplah menjadi “daun emas” yang menggiurkan.